BUKITTINGGI – Seorang Praktisi hukum Dafriyon, SH.HM, mengatakan, Pemerintah Kota (Pemko) Bukittinggi, Sumatera Barat, sebaiknya tidak mencabut Perwako Nomor 40 dan 41 tahun 2018 tentang kenaikan retribusi
pasar yang dinilai sebagian kalangan memberatkan pedagang.
“Sebaiknya Wali Kota Bukittinggi Erman Safar tidak perlu mencabut Perwako Nomor 40 dan 41 tahun 2018 sebab pencabutan peraturan itu tidak menguntungkan atau tidak mensejahterakan masyarakat. Sebaliknya, jika tetap diberlakukan akan menambah PAD yang nantinya akan membantu program-program Pemko seperti mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat,” ujar Dafriyon usai buka bersama dengan wartawan di salah satu rumah makan dalam kota itu, Minggu (18/4/2021).
Ia katakan, jika alasan Pemko mencabut Perwako hasil produk wali kota terdahulu itu karena keberpihakan terhadap masyarakat pedagang, perlu dipertanyakan juga pedagang yang mana. Menurutnya, pencabutan Perwako hanyalah menguntungkan segelintir pedagang golongan ekonomi menengah ke atas dan bukan pula merupakan warga Kota Bukittinggi.
“Pedagang golongan menengah ke atas tersebut adalah pedagang di pertokoan seperti di pasar konveksi Aur Kuning dan Pasar Atas. Sekitar 85 persen pedagangnya adalah warga ber KTP luar Bukittinggi. Jadi, sebelum adanya keputusan untuk mencabut Perwako, sebaiknya Pemko Bukittinggi lebih baik mengkaji ulang lagi,” jelas Dafriyon seraya mengatakan, rata-rata pedagang golongan menengah ke atas tersebut punya rumah yang layak dan punya beberapa kendaraan pribadi.
“Saya bersama rekan warga kota pernah survei dan melihat sendiri, pedagang yang bukan warga Bukittinggi itu berkecukupan lebih. Memiliki rumah gedongan dan punya beberapa unit kendaraan pribadi jenis mobil terparkir di rumah mereka,” ungkapnya.
Kembali ke Perwako Nomor 40 dan 41 tahun 2018 tadi, lanjut pengacara muda itu, diperlakukannya Perwako dari era wali kota terdahulu, tidak lain adalah meningkatkan PAD kota, bertujuan untuk mencapai program kerja atau kegiatan Pemko meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sendiri.
“Intinya Pemko Bukittinggi harus bijaksana mengkaji ulang kembali sebelum diberlakukan pencabutan Perwako. Seandainya masih tetap terlaksana pencabutan tentu akan menimbulkan kerugian bagi warga Bukittinggi karena Pemko akan kehilangan PAD sekitar 5 hingga 9 miliar per tahun,” terangnya.
Ditambahkan Dafriyon, pemerintah berkeinginan rakyatnya sejahtera, tentu punya PAD yang besar pula. Jika PAD minus, bagaimana mungkin pemerintah bisa mengentaskan kemiskinan atau mengatasi permasalahan kesenjangan sosial. Alhasil, lanjutnya, program kesejahteraan bagi masyarakat tidak tercapai.
“Kesimpulannya, berlakukan saja Perwako seperti biasanya dan sebaliknya perhatikan nasib pedagang kecil, pedagang kaki lima (PKL) serta nasib para guru honorer yang ada dalam Kota Bukittinggi. Sebab untuk
mensejahterakan masyarakat berpenghasilan rendah tersebut bisa terlaksana, ya adanya retribusi atau PAD yang diperoleh Pemko,” terangnya.
*Masyarakat Inginkan Kepastian
Di tempat sama, berbeda dengan Dafriyon, politukus muda Bukittinggi Fauzan Hafis, minta Wali Kota Bukittinggi bersikap tegas dengan suatu keputusan. Kata dia, dulu Wali Kota Erman Safar dan Wakilnya Marfendi berjanji akan mencabut Perwako Nomor 40 dan 41 tahun 2018, namun hingga kini pencabutan belum ada kejelasan.
“Wali kota dan wakilnya di masa kampanye bahkan setelah dilantik beberapa bulan lalu berjanji akan mencabut Perwako, namun sampai saat ini belum ada kejelasan apakah sudah dicabut atau belum,” katanya.
Dilanjutkan Fauzan, seandainya Perwako sudah dicabut, peraturan pengganti nomor berapa. Jika belum ada pencabutan, peraturan yang mana diberlakukan apa lagi Perwako berkaitan dengan pendapatan daerah.
“Masyarakat ingin kejelasan apakah Perwako benar sudah dicabut, direvisi, dalam proses pencabutan atau memang belum dicabut. Kami ingin kepastian atau kejelasan dari pemimpin kota ini,” kata mantan anggota DPRD Bukittinggi dua periode ini.
Dikatakan lagi, dari beberapa informasi dan data yang ia peroleh, bahwasanya ada pedagang di Pasar konveksi Aur Kuning yang telah membayar retribusi dan ada juga yang tidak membayar.
“Hal itu tentunya akan membingungkan para pedagang. Baik pedagang yang telah membayar retribusi atau belum. Terhadap pedagang yang membayar, berdasarkan peraturan apa retribusi dipungut. Sementara pedagang yang tidak bayar, kedepan bagaimana, apakah nanti pedagang tersebut tidak dibebani utang retribusi menumpuk. Justru itu, perlu ketegasan dan kejelasan dari pemimpin Bukittinggi,” katanya. (ank)
Comment