Oleh : Dasman Boy Dt Rj Dihilie
(Wartawan Utama)
Hari Pers Nasional (HPN) 2025 diperingati Minggu, 9 Februari. Perayaan ini sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ke-79
HPN tahun ini mengusung tema ” Hari Pers Nasional 9 Februari 2025. Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa” HPN 2025 ini agaknya sedang tidak baik baik saja.
Sepertinya organisasi pers ini, bagaikan baju gadang “babalan duo. ” Kenapa tidak, yang satu memeriahkan HPN di Kalsel dan satunye lagi di Pekanbaru Riau. PWI organisasi pers yang sudah cukup tua ini telah terjadi dualisme. Entah HPN mana yang diakui pemerintah.”
Dualisme PWI telah melahirkan sesuatu yang luar biasa. Seperti anak kembar yang lahir dari perut konflik, satu di Riau, satu lagi di Kalimantan Selatan.
Keduanya mengklaim sebagai yang paling sah dan paling diakui, dua matahari yang mengaku saling bersinar. Ada dua kubu yang saling berseteru, Hendry CH Bangun versus Zulmansyah Sekedang. Kedua mengaku matahari mereka- lah yang paling bersinar.
Awalnya, saya tak tertarik menulis artikel ini, takut dibilang menapuk air di dulang yang basah muka kita juga.
Namun sambil berbaring di tempat tidur, karena aku sudah 7 bulan berpayung rumah karena mengidap suatu penyakit. Tapi, karena PWI merupakan organisasi pers yang saya tumpangi sejak tahun 2000,silam. Saat itu PWI Sumbar dikomandoi Alm Masri Marjan, wartawan sekaligus legislator. Masih segar di ingatan tes masuk PWI diseleksi senior saya, Khairul Jasmi.
Hati ku tergelitik juga untuk menulis artikel ini. PWI yang memiliki sejarah panjang di negeri ini, cukup banyak pihak yang menyayangkan terjadi dualisme terhadap kepemimpinan organisasi yang merupakan pilar keempat ini. Bahkan, termasuk dari para jurnalis yunior dan senior di seantero negeri ini.
Saya melihat organisasi pers yang berlogokan “padi, kapas dan mata pena” ini seperti lasuang yang memiliki dua ayam gadang. Menurut petuah bijak orang tua, ini jelas mengisyaratkan hal yang kurang baik. Juga seperti satu yang mempunyai dua penghulu. Sehingga tak terbantahkan tentu anak kemenakan jadi bingung, bahkan tak jarang bisa memicu konflik sesama anak kemanakan.
Sekarang, satu lasuang ada dua ayam gadang, ini juga pertanda tidak bagi anak ayam yang ada di lasuang itu. Dua si jago pasti saling “manga rendeang” (perlihatkan kelebihan – red), juga tak jarang adu kemampuan fisik.
Tentu, akan mengakibatkan anak ayam jadi dampaknya, bisa salah satu ayam gadang tadi “malasi” (mencotok – red) anak ayam. Sehingga membuat induk ayam menjadi bingung dan kesal. Tentu yang lebih parah lagi, salah satu dari ayam gadang tentu akan “mamacah talua”. Dengan pecahnya telur tentu akan berdampak terhadap regenerasi koumitas ayam itu sendiri.
Tentu di sisi lain, masyarakat menjadi bingung, selama ini PWI cukup konsen dan bersatu mengawal pembangunan dari pemerintah satu ke pemerintahan lainya. Kini masyarakat hanya bisa melihat, mengamati dari jauh, apa ending dari semua ini.
Biasanya, dalam salah satu suku terjadi satu lasuang memiliki ayam gadang (penghulu). Maka sering terjadi “baju gadang babalah duo”, seiring dengan bakal terjadi pembagian wilayah. Dan tak jarang salah satu ayam gadang akan membuka lahan baru, bersama loyalisnya.
Dan jelas salah satu kepenghuluan yang baru akan mempunyai limbago yang baru, empat bajinih dan bajinih ampek yang baru. Artinya, bakal lahir organisasi tandingan. Muhan – mudahan hal ini tak bakal terjadi. Tentu semua pihak mengharapkan kedua belah pihak berseteru bakal islah kelak.
Termasuk saya dari tempat tidur ini mengharapkan dualisme kepemimpinan PWI islah dan berdamai dan berjalan beriringan kembali. Dan baju tak babalah duo, sehingga anak kemenakan tak kehilangan arah serta terseret konflik.
(*)