PADANG PARIAMAN -Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Setidaknya inilah kondisi hidup yang dijalani SN, 62 tahun warga salah satu korong di Kecamatan Batang Anai Padang Pariaman. Nestapa. Begitu perjalanan hidupnya.
Suami yang menemaninya sejak perkawinannya sekitar puluhan tahun lalu,
mencabuli AS (13), cucu kandungnya sendiri.
Remuk redam hatinya. Tak tahu apa yang akan dia sebut. Suaminya telah menghancurkan masa depan sang cucu yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Meski berat, namun dia berusaha tegar dan melaporkan perbuatan sang suami pada polisi.
Polisi bergerak cepat. Suaminya, LT (70) ditahan polisi dan kini dalam proses persidangan. Dalam berjalannya waktu, belum kering air mata SN akan perbuatan sang suami pada cucunya, kini dia pun dihukum adat tempat tinggalnya, untuk menanggung perbuatan suami yang dia laporkan atas dasar pencabulan.
Hukum adat itu tak hanya ditanggung SN seorang tapi juga seluruh anak dan cucunya termasuk yang menjadi korban pencabulan.
Hukum adat yang ditanggung SN adalah berupa denda 10 sak semen dan uang gatik tulak bala Rp300 ribu. Hal itu diungkapkan datuk di kampung SN, pekan lalu. Dia dihadirkan dalam rapat yang berlangsung pada 15 Agus 2021 malam hari.
Dalam rapat itu menyatakan SN harus menanggung hukuman adat untuk sang suami. Dikarenakan suaminya sedang menjalani hukuman. Jika SN tidak sanggup atau tidak mau membayar denda dimaksud, maka mereka diminta meninggalkan kampung halamannya.
Jika pun ingin bertahan, apapun kejadian, baik pesta, kematian, SN dan keluarga tak akan dihiraukan warga setempat. Begitu hukuman untuk SN dan keluarganya. Pernyataan soal sanksi di atas disampaikan ninik mamak setempat dan direkam dalam bentuk vidio oleh salah seorang keluarga korban.
Sanksi hukum yang diberikan kepada SN dan keluarganya sempat bantah oleh keluarga SN lain yang tinggal berlain jorong. Dia Fahmi, yang menyatakan tidak terima atas perlakuan tak adil pada adik sepupu ibunya tersebut. Sebab sanksi adat yang diberlakukan pada Eteknya itu dengan tuduhan zina. Sedangkan perbuatan suami eteknya adalah pencabulan pada sang cucu.
“Kami tidak terima sanksi adat dari ninik mamak, yang mengatakan hukuman untuk etek saya dan keluarganya dengan dasar perzinaan. Makna perzinaan dengan pencabulan yang dilakukan suami etek saya pada cucunya itu jauh berbeda. Mereka bilang denda untuk membersihkan kampung dari bala,
tapi justru denda semen berupa uang yang diminta. Ini kan aneh. Harusnya jika memang untuk membersihkan kampung agar jauh dari bala, yang dilakukan adalah berdoa di rumah tempat terjadinya pencabulan. Kalau itu yang dilakukan kami setuju. Tapi jika yang diminta terus adalah uang, kami tidak setuju. Kalau dipaksa juga itu namanya pemerasan. Ini akan kami laporkan pada polisi. Sebab sanksi adat yang dilakukan sudah menyimpang dari ajaran agama Islam,” ujarnya.
Dia pun memperlihatkan vidio rekaman, bagaimana ninik mamak setempat memaparkan dengan jelas sanksi adat yang harus diterima eteknya. Rapat yang berlangsung, Minggu malam 15 Agustus 2021 itu akhirnya dibubarkan oleh ninik mamak setempat karena adanya bantahan demi bantahan dari Fahmi.
Terpisah, tokoh masyarakat Nagari Kataping, Rajo Sampono yang dihubungi via telepon genggam menjelaskan, hukuman adat tersebut dijatuhkan kepada pelaku. Hanya saja pelaku saat ini tidak ada di kampungnya hingga hukuman adat itu harus ditanggung atau dijalani oleh keluarga yang tinggal, baik itu istri maupun anak-anak pelaku dan para cucunya.
“Saya sudah panggil pemuka masyarakat setempat, yang didenda itu adalah pelaku. Sipelaku tersebut tinggal di rumah tempat pencabulan dilakukan, karena pelaku sudah ditahan lalu siapa yang bertanggung jawab? Yang bertanggung anaknya. Anaknya sudah berani bertanggung jawab,” kata Rajo Sampono.
Pernyataan soal adanya anak SN, yang bertanggung jawab atas sanksi untuk ayahnya dibantah keluarga korban. Tak ada keluarga mereka yang setuju atas sanksi yang dijatuhkan.
Menurut Sampono, sanksi adat, keluarga pelaku bukan diusir, tapi apapun yang terjadi di rumah itu, orangtua dan masyarakat tidak bisa hadir di rumah tersebut. Karena rumah tersebut sudah tercela.
“Sanksi adat ini sudah berlangsung sejak dulu. Tidak sekarang saja. Mau tak mau harus diterima,” katanya.
Dia tetap mempertahankan sanksi adat itu dijatuhkan kepada istri, anak-anak dan cucu pelaku yang juga menjadi korban.
“Soal denda, sebenarnya jika keluarga pelaku tidak sanggup, panuah ka ateh, panuah ka bawah,” terang Rajo Sampono.
Disebutkannya, kejadian serupa sudah dua kali terjadi. Ketika ditanya kapan kejadian pertama Sampono tak bisa menjelaskan.
Dalam pandangan Rajo perzinaan dengan pencabulan adalah perbuatan yang sama. Walaupun tidak dilakukan atas dasar suka sama suka. Itu namanya tetap perzinaan. Apapun alasan yang dijelaskan oleh keluarga pelaku yang juga menjadi korban.
“Yang jelas kami dari pemuka masyarakat tetap menjatuhkan sanksi untuk istri dan anak-anak pelaku. Mau mengadu ke LKAAM Sumbar silahkan, itu haknya. Jika ingin menjadi masyarakat kami ikuti aturan yang kami buat, jika tidak silahkan tinggalkan kampung kami. Tapi jika mau tetap tinggal di kampung ini silahkan tidak kami ganggu tidak kami laporkan tapi yang namanya alek baik, alek buruk kami dari pemuka masyarakat tidak akan hadir. Itu saja,” katanya lebih jauh.
“Kalau mereka duduk dilapau, kami menghindar. Kalau mereka beraktivitas kami larang baru itu namanya melanggar hak azazi manusia. Tapi sekarang kami tidak sabaun sebab mereka berhama. Kesimpulannya masyarakat tidak bisa hidup bersama mereka. Jika ingin baik lagi dengan masyarakat sasahlah hamo ko. dengan membayar denda tadi,” sambung Sampono.
Hukam adat itu katanya untuk mengajar pelaku dan keluarga dan untuk tidak ditiru oleh masyarakat lain dan jadi pelajaran ke depannya.
Berhenti Sekolah
Sementara, pasca kejadian yang menimpa AS, cucu SN, dia tak lagi sekolah. Sebab dia selalu dibully oleh teman-temannya.
Pernah suatu hari, buku milik AS dirobek oleh teman-temannya,
tapi guru membiarkan perbuatan tersebut.
“Dicabiak-cabiaknyo buku AS dek kawan-kawannya. Itu tajadi dimuko guru. Tapi dibiarkan sajo dek guru. Sajak itu AS ndak do sekolah lai. Di rumah mode itu lo, inyo digalak-galakan dek urang sekitar,” kata Ir, paman korban.
Saat ini korban hanya bermain di rumahnya saja tanpa melakukan aktivitas yang berarti. Ir, dan ibunya SN serta keluarga besarnya berharap, hukuman adat yang diberikan kepada mereka hanya ditanggung oleh ayahnya sebagai pelaku pencabulan. Bukan oleh ibunya SN, yang dalam hal ini juga korban dalam mata hukum. Sedangka keponakannya jelas-jelas sudah menjadi korban, namun
dikucilkan oleh masyarakat setempat.
“Dimana keadilan untuk ibu saya dan keponakan saya. Tolonglah kami pak pemerintah, pak ustad dan bapak ibu lainnya yang ada di negeri ini,” pinta Ir.
Tak hanya itu, ketidakadilan lainnya juga dirasakannya ketika mengurus NA untuk pernikahan adiknya. Wali jorong setempat jug mempersulit proses pembuatan NA.
Sementara, Pemerhati Anak Sumbar, Muharman mengatakan perlakuan yang diterima SN dan keluarganya adalah sesuatu yang tak masuk akal dan bertentangan dengan UU. Harusnya ninik mamak nagari Katapiang mengenyampingkan sansi adat untuk pelaku, sebab dia sudah di hukum secara pidana. Jika pun pelaku diberi sanksi, harusnya menunggu dia keluar dari penjara. Bukan malah melimpahkan hukum adat kepada istri pelaku, yang dalam kacata mata hukum pidana adalah korban.
“Harusnya ninik mamak setempat lebih memperhatikan nasib korban. Sebab masa depannya sudah hancur dan dia harus dibantu untuk menghilangkan trauma. Sebab tidak mudah memulihkan mental, psikis atas peristiwa yang dia alami.
Mengadu
Di lain sisi, tidak terima atas tindakan sanksi adat yang diberikan ninik mamak kepada ibunya, Ir anak SN mengadu ke Komnas HAM Sumbar untuk mendapat perlindungan. Laporan sudah dilayangkan dalam surat tertanggal 23 Agustus 2021. (Rel/yuni)
Comment