Oleh: Tommy TRD
MENGAGUMKAN melihat pemikiran-pemikiran yang berkembang di ruang-ruang kelas perkuliahan. Salah satu dari begitu banyak pemikiran tersebut adalah pemikiran tentang pembangunan nagari, yang sejak hadirnya Uu No. 6/2014 tentang desa, kembali menjadi primadona. Bagaimana tidak, keleluasaan dalam mengelola kekuatan finansial berupa dana desa, menjadikan nagari sebagai kekuatan otonomi daerah dalam bentuk atau skala yang paling kecil.
Namun kenyataan yang ada saat ini bisa dikatakan masih jauh dari harapan, jika tidak bisa dikatakan miris. Miliaran rupiah yang digelontorkan belum mampu mendatangkan suatu kondisi nagari yang maju, sejahtera dan mandiri. Walaupun tentu semua upaya yang sudah dilakukan mengarah ke sana. Hal ini menunjukan ada kepingan puzzle yang hilang, sehingga proses menuju nagari yang sejahtera dan mandiri belum berjalan dengan optimal.
Saya pribadi menganggap kepingan yang hilang ini menjadi salah satu tanggung jawab dari dunia akademik. Sebagaimana yang mungkin sudah diketahui bersama, unsur ekonomi, pembangunan dan politik menjadi unsur yang sangat dominan dalam kehidupan di nagari saat ini. Namun, unsur akademik tertinggal jauh di belakang. Padahal bukan tidak mungkin unsur akademik ini adalah kepingan puzzle yang hilang.
Keterlibatan dunia akademik dalam kehidupan di nagari terkadang masih terbatas dalam pelaksanaan praktek Kuliah Kerja Nyata bagi para mahasiswa, yang kemudian ditandai dengan bak sampah. Sebenarnya ada lebih banyak yang bisa diharapkan dari sekedar monumen berupa bak sampah, atau monumen-monumen fisik semacam itu dari sekelompok mahasiswa. Karena sejatinya yang membedakan mahasiswa dengan yang bukan adalah daya kritis dan pola pikir.
Memang selama ini dunia kampus sudah melibatkan diri dalam pembangunan nagari dengan adanya dosen-dosen yang menjadi tenaga ahli di nagari. Namun, semestinya keterlibatan semacam ini bisa lebih ditingkatkan lagi. Karena seperti yang sudah ditegaskan di awal tulisan ini, perkembangan pemikiran di ruang-ruang kelas perkuliahan sangatlah luar biasa, dan tentunya pemikiran tersebut tidak hanya milik tenaga pengajar saja.
Para mahasiswa ini semestinya bisa menjadikan nagari-nagari yang ada (minimal kampung halamannya sendiri) sebagai laboratorium unit kerja. Tentunya dengan sebuah proposal kegiatan atau bahkan proposal pemikiran yang brilian. Dan mereka punya itu. Kampus pun sudah semestinya menjadi aktor yang egaliter dalam membimbing pembangunan nagari.
Standar-standar akademik yang ada terkadang tidak terlalu efektif diterapkan di lapangan, hampir semua mahasiswa dan lulusannya mengetahui hal ini. Sehingga untuk apa mempertahankan sebuah sistem atau pola yang cenderung feodal ? “Bahasa akademik” kampus tidak selalu lebih efektif, dibandingkan bahasa slang yang digunakan sehari-hari.
Bahkan jika kita menganut kepada pemikiran-pemikiran akademisi luar negeri, mereka malah sangat fleksibel dalam menggunakan bahasa slang pada artikel yang terbit pada jurnal bergengsi. Sementara dunia kampus kita masih cenderung tegang seperti besi.
Jika DNA seperti itu dipertahankan, maka tidaklah mengherankan jika sumbangsih dunia akademik terhadap perkembangan nagari ke depan hanya akan sebatas naskah akademik yang membantu perumusan aspek legal formal nagari di dalam sebuah ruangan ber-AC dengan para petinggi daerah. Bukankah silang pemikiran yang berkembang di ruang-ruang kelas itu lebih baik di bawa langsung ke nagari? Pemikiran brilian, dikawinkan dengan kewenangan akan pengelolaan anggaran yang mumpuni. Sky is the limit! (*) (Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik Unand)
Comment