Oleh: Dasman Boy Dt Rj Dihilie
(Wartawan Utama)
Di Ranah Minang tak ada jabatan yang tumbuh dengan instan. Semuanya, lahir dan tumbuh terprogres dan terseleksi di tengah – tengah masyarakat hukum adat di salingka nagari.
SELAMA ini di Ranah Minang, sosok alim ulama, ninik mamak (penghulu) dan pandeka (hulubalang – red), merupakan figur yang tak telepaskan dari kehidupan sehari hari. Ketiga sosok ini merupakan panutan di tengah tengah kehidupan masyarakat hukum adat di Ranahminang.
Bahkan, ketiga sosok ini merupakan bagian dari jabatan pemangku adat. Semua ini juga dilatarbelakangi, negeri yang berfilosufikan adat basandi syarak – syarak basandi Kitabullah (ABS – SBK).
Buktinya, ketiga figur ini merupakan tiga dari pemangku jabatan di antara empat bajinih adat. Yakni, penghulu (ninik mamak), alim ulama (Malin dan Pandito-red) dan pandeka (parik paga nagari dan hulubalang – red).
Figur – figur keberadaannya memang sudah dipantau sejak dari kecil atau sejak bangku sekolah. Artinya, kalau inyo manciek, alah nampak Ikuanyo sajak ketek. Dengan kata lain, sosok telah melalui proses sejak kecil.
Ketiga, sosok ini progres seleksinya, tak terlepas dari seleksi alam, yang menyeleksinya merupakan masyarakat hukum adat di salingka terkait. Sehingga, ketiga sosok ini tak muncul tiba-tiba saja memangku jabatannya.
Seperti, alim ulama ia terprogres dari mulai dari lingkungan kaumnya. Ia mengaplikasikan ilmu agamanya di surau kaumnya. Selain dididik dari sistem halaqah di surau, ia juga harus memiliki ilmu dari lingkungan akademis (perguruan tinggi – red). Kasarnya, ia ia buka Malin (buya-red) yang teksbook. Apalagi ilmu didapatkan dari Lapau.
Karena, sudah menjadi budaya di tengah tengah masyakat hukum adat di Ranahminang. Jika ia malin (mahir-red) di mimbar masjid, pasti masyarakat bertanya di mana asal suraunya. Kemudian, malin dia halaman (pendekar – red) pasti Rang nagari bertanya di mana sasaran ia berguru. Lalu, ia mahir atau bijak bidang, pasti di mana limbago kaumnya.
Jadi, tak ada jabatan atau profesi yang disandang dengan kebetulan saja, tanpa ada progres dan seleksinya. Artinya, tiba – tiba muncul sosok berpenampilan relijius, memanjangkan jenggot, selalu pakai kopiah, sorban dan acesories aganisnya. Lalu apakah dia berprofesi jadi buya (alim ulama).
Tak bisa dipungkiri, sosok alim ulama (buya) sosok panutan, yang bahkan orang adat dari kaum adat. Takilek ikan di Lubuk alah tau jantan ko batinonyo. Seperti sosok Buya Hamka, sosok alim ulama yang lebih adat kaum adat.
Tidak begitu dengan budaya di Ranah Minang. Di Minang progresnya teruji di masing masing salingka nagari. Jadi, yang tau jo paso – paso ayam, yang tau jo kili – kili jawi. Garundang gadang di kubangan dan Buayo gadang Muaro. (*)