PADANG – Di Nagari Silantai, Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara membentuk kabinet. Dua bulan di Sumpur Kudus, rombongan pejuang dimasakan oleh ibu-ibu Silandai.
Nagari Silandai, Kecamatan Sumpur Kudus tempat terbentuknya kabinet PDRI. Di Sumpur Kudus juga rombongan pak Syaf panggilan Syafruddin Prawiranegara oleh masyarakat menetap cukup lama, yakni sekitar 2 bulan.
Silantai, satu dari 4 Nagari yang menjadi tempat aktivitas pak Syaf di Sumpur Kudus. Rombongan pejuang memilih daerah itu, karena posisinya dianggap lebih aman dari intel Belanda.
Pasukan dengan mudah menempatkan pemantau atau mata-mata di daerah terdepan. Seperti dari Talawo, Uncang Labuah, Sungai Langsek, Siparok atau Koto Tuo. Jika mata-mata melihat pergerakan mencurigakan, sepeti pasukan Belanda, maka mata-mata langsung menyampaikan ke pasukan pejuang.
“Kata ayah saya, pak Syaf memilih Silantai, karena daerah ini dianggap paling aman,”sebut Irianis, (59) pewaris Rumah Sidang Kabinet PDRI di Nagari Silantai, Sumpur Kudus.
Irianis adalah anak dari Hasan Basri Dt Bandaro Putih, pemilik Rumah Sidang PDRI. Pada 1949, Hasan Basri adalah Wali Perang. Setingkat Walinagari, karena status negara darurat, maka Walinagari disebut Wali Perang.
Pak Syaf tiba di Silantai sekitar awal Mei 1949, atau di penghujung masa PDRI. Rombongan tim lengkap yang selalu menggotong peralatan radio seberat 3 ton sudah menjalani perjalan jauh dari Bidar Alam.
Perjalan Pak Syaf, setelah menyatakan Indonesia masih ada di Bidar Alam, kemudian berpindah ke Sungai Dareh. Di Sungai Dareh rombongan hanya bertahan sekitar 4 hari. Di sana juga sempat bersidang.
Kemudian melanjutkan perjalanan menembus hutan belantara dan menyeberang sungai menuju Sumpur Kudus. Perjalan membutuhkan beberapa hari.
Sungai Dareh, mereka kemudian meneruskan perjalanan melalui jalan setapak lewat Kiliran Jao, Sungai Bitung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Manganti, hingga akhirnya mencapai tempat tujuan pada 5 Mei 1949.
“Tiba di Silandai, langsung diterima oleh masyarakat. Sementara tentara yang mendampingi selalu bersiaga,”kenang Irianis.
Pertemuan di Sumpur Kudus dipicu dengan kesepakatan pertemuan antara Pak Syah dengan anggota kabinet Mr. Mohammad Rasjid yang menjabat menteri perburuhan PDRI merangkap Gubernur Militer Sumatra Barat bermarkas di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota.
Perjanjian bertemu di Silantai tersebut dilakukan dengan komunikasi kontak radio. Akhirnya pada 14-16 Mei 1949, dilakukan Sidang Kabinet PDRI Lengkap. Tepatnya di rumah Wali Perang Silantai, Hasan Basri.
Diketahui, Pak Syaf juga dikelilingi oleh kelompok anak muda yang ahli bela diri. Mereka yang rela mati untuk menjaga Ketua PDRI.
Perlawanan yang cukup alot ketika tentara Belanda mengejar Syafrudin hingga ke
Sungai Dareh. Belanda juga tidak berhasil menyergap rombongan Pak Syaf.
Ada yang menyebutkan, karena begitu sulitnya melakukan penyergapan dan penangkapan pada kelompok ini, maka Belanda melabeli mereka sebagai Black Cat, si Kucing Hitam. Pasukan Belanda cukup kewalahan menghadapi kelompok ini.
Di Silantai, selain menjalankan roda pemerintah darurat, Pak Syaf menjalani hari-harinya bersama masyarakat. Bermain bola kaki serta volley. Jika malam tiba, pak Syaf juga menyaksikan latihan silat dan randai.
“Jadi Pak Syaf menjalani kehidupan seperti biasa, meski dalam pengawalan. Apalagi kabinet juga lengkap di Silantai,”kenang Irianis lagi.
Irianis juga mengingat cerita ayahnya saat di Silantai rombongan yang memiliki berbagai kemampuan juga membantu masyarakat disana. Seperti melakukan pengobatan, karena dalam tim juga ada dokter.
Dimasakan Amai-Amai
Selama di Silantai, kebutuhan makan rombongan pejuang sepenuhnya disediakan oleh amai-amai disana. Untuk mendapatkan bahan makan itu, Wali Perang Silantai bahu membahu dengan Wali Perang sekitarnya untuk mengumpulkan bekal, seperti beras dan sayur-sayuran.
Kemudian amai-amai itu memasak dengan sukarela. Makanan-makanan khas Minang disajikan untuk rombongan.
Rumah Sidang
Kamis, (16/12) kondisi Rumah Sidang PDRI terlihat masih kokoh. Kontruksi yang sepenuhnya berbahan kayu masih berdiri kokoh.
Kini rumah itu dicat berwarna krem. Menaiki rumah ini kita harus menaiki tiga anak tangga dari semen.
Ada 3 kamar di rumah itu. Jika masuk dari depan, satu kamar berada di depan. Dua kamar mengapit ruang tamu di bagian belakang. Tepat di ruang tengah rumah itu dijadikan ruang sidang.
Kamar belakang sebelah kanan merupakan kamar tidur Pak Syaf. Semuanya dibiarkan sama seperti dengan ditempatinya dulu. Kini masih ada tongkat dari rotan, kursi dan meja tulis Pak Syaf.
Dipan tepat tidur dengan rangka kelambu dari besi dibiar tetap mengisi kamar tidur tersebut. Dinding papan kayu belum diganti. Masih yang asli seperti di tempati Pak Syaf.
Kini rumah sidang ini sudah menjadi cagar budaya. Dalam pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Penetapan cagar budaya itu ditetapkan sekitar 2010 lalu. (Bdr)
Comment