PADANG – Di hamparan hijau Nagari Bidar Alam, masih tersisa jejak-jejak bersejarah Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Syafruddin Prawira Negara. Langgar dan rumah tempat pak Syaf berdiam di Bidar alam masih jadi saksi di Jorong Bulian, Nagari Bidar Alam, Solok Selatan.
Bidar Alam, daerah yang tersuruk jauh dari pusat Kota Padang. Berjarak puluhan kilometer dari pusat ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Jika dari Padang Aro, Sangir pusat Kabupaten Solok Selatan harus menempuh jalan 21 kilometer lagi.
Nama daerah yang sudah banyak ditulis dalam sejarah PDRI itu tak banyak berubah. Pemukiman warga yang menumpuk ke pinggir jalan. Negeri nan hening, namun menyimpan sejarah penting.
Jalan dari Padang Aro menuju Bidar Alam belum begitu lebar. Jika ditempuh dengan kendaraan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Jalannya sudah ada yang dihotmix, tapi tak begitu lebar. Jika diteruskan jalan itu mengantarkan sampai ke Abai, Solok Selatan.
Bidar Alam basis perjuangan PDRI. Dari daerah ini, Indonesia dinyatakan masih ada. Di Jorong Bulian masyarakat dan pemimpin bahu membahu mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari Agresi Militer Belanda. .
Selasa (14/12) siang, cuaca basah di Solok Selatan. Sejak pagi hujan sudah turun. Dingin menyergap. Membuat petani malas ke ladang. Jalan basah, bekas-bekas gerusan air bah masih membekas di bibir jalan Lubuk Malako.
Beranjak lebih ke dalam, menuju Nagari Bidar Alam. Mendung tak kunjung berubah. Awan hitam menyungkup dari segala penjuru mata angin. Gerimis turun lagi, tak lama teduh lagi. Masih dingin.
“Desember ini di Solok Selatan memang musim penghujan, kabarnya pak Syaf datang ke Bidar Alam dulu juga hujan-hujan,”sebut Tono, Warga Sangir saat menyaksikan tim Tour de PDRI dilepas di RTH Padang Aro.
Masyarakat Bidar Alam masih menjaga tiga jejak sejarah itu. Pak Syaf, begitu masyarakat Bidar Alam menyebut Syafruddin Prawiranegara. Pertama langgar tempat pak Syaf mengaji dan menyampaikan bahwa Indonesia masih adai dengan Radio Auri.
Langgar itu kini sudah menjadi dua tingkat. Tidak banyak bekas peninggalan di dalamnya. Tidak ada tempat tidur, juga tak ada alat komunikasi lagi. Kini bangunan itu dimanfaatkan untuk mengaji untuk anak-anak Jorong Bulian.
“Kami terus merawatnya. Walau hanya dari uang sumbangan kotak amal,”sebut Dahmiati (60) warga Jorong Bulian.
Di Langgar itu dulu ditempatkan Stasiun Pemancar Radio Auri. Tidak hanya itu, Langgar itu juga dijadikan tempat mencetak uang masa pemerintah darurat.
Kini Langgar itu menjadi Taman Pendidikan Alquran (TPA) Bidar Alam. Bangunannya juga sudah diubah menjadi dua tingkat. Tetap menggunakan kontruksi kayu, lantai dasarnya sudah dikeramik.
“Dulu ukurannya tidak segini. Hanya Langgar kecil, dibelakang ini ada anak sungai yang bisa digunakan untuk jamban oleh pak Syaf,”kenang Dahmiati.
Tak jauh dari Langgar, hanya sepelemparan batu di seberang jalan. Ada rumah panggung milik warga Bidar Alam, tempat tinggal Pak Syaf, sekaligus markas pertama PDRI.
Pemilik rumah itu namanya Jama, suaminya Haji Muhammad Salim, seorang guru. Jama memiliki tiga orang anak. Mereka tinggal disana, yang dikawal oleh masyarakat.
Di rumah itu pula, Pak Syaf tinggal dan diantarkan nasi oleh warga. Mulai dari randang hingg dendeng, cukup sambalnya dibuatkan warga. Jika malam tiba, di rumah itu pula Pak Syaf menyaksikan permainan Canang (talempong). Kesenian musik yang dimainkan anak nagari. Kini rumah itu ditinggali cicit Jama.
Rumah itu dijaga, jika ada yang bertanya, warga selalu menjawab tidak ada Pak Syaf di kampung itu. Ketika Pak Syaf berada disana, tak jarang pesawat Belanda melayang diudara. Tapi kampung itu tetap tenang, tidak risau.
“Tak pernah bom Belanda jatuh dan meledak di sini. Ada meledak, tapi sudah di nagari lain,”kenang Dahniati lagi.
Sejauh 500 meter ke arah Lubuk Malako, kini yang masih ada Masjid Nurul Fallah. Masjid tempat Pak Syaf shalat bersama warga. Masjid dengan arsitektur bagonjong itu juga tak banyak berubah.
Tak Terawat
Sayangnya tiga objek bersejarah itu tak terawat. Hanya warga yang berusaha merawat sendri. Seperti Langgar tempat pak Syaf menyatakan Indonesia masih ada.
Langgar itu masih berkontruksi kayu dua tingkat. Dindingnya terlihat rapuh. Bagian belakangnya sudah keropos. Lusuh dan tak terawat.
“Bantulah kami pak, bagaimana Langgar ini bisa tetap terawat. Karena disini ada sejarah, juga tempat anak-anak kami belajar mengaji sekarang,”harap Dahniati.
Begitu juga dengan Markas Pak Syaf. Rumah Jama, meski depan terlihat berdinding ukiran, namun lantai rumah itu sudah keropos. Dinding belakang juga sudah bolong.
Rumah itu ditempati Aprisal (42), suami dari cicit Jama, pemilik rumah tersebut. Di dalam terlihat lempang begitu saja. Tak ada bilik, juga tak ada perabotan lainnya.
Begitu juga dengan Masjid Nurul Fallah. Jalan masuknya masih sempit. Di kelilingi pemukiman warga. Kondisi itu juga tidak mengambbarkan masjid itu terawat dengan baik.
Kepala Badan Kesbangpol Sumbar, Jefrinal Arifin mengakui kondisi sejumlah bukti sejarah PDRI belum terawat dengan baik. Untuk itu Pemprov Sumbar sudah melakukan inventarisir terhadap sejumlah bukti tersebut.
“Kita sudah persiapkan, bagaimana ke depan agar bukti sejarah itu dapat dirawat. Kita juga sudah lakukan pertemuan dengan sejarawan,”sebutnya.
Dikatakannya, khusus di Bidar Alam, dirinya sudah membicarakan dengan Bupati Solok Selatan, Khairunas. Karena terkait dengan status kepemilikan aset.
“Nanti kita lakukan kajian, bagaimana langkah terbaik dalam mengelola bukti sejarah ini,”pungkasnya.
PDRI
Diketahui Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) memiliki peran penting dalam upaya mempertahankan Kemerdekan bangsa Indonesia. PDRI adalah penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.
PDRI disebut juga dengan Kabinet Darurat yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sistem pemerintahan PDRI berada di Sumatera Barat. Karena setelah Ibu Kota Yogyakarta lumpuh dan sejumlah tokoh ditangkap terjadi kekosongan pemerintahan Indonesia.
PDRI dibentuk tidak lama setelah Ibu Kota Yogyakarta dikuasai Belanda pada 19 Desember 1948 saat Agresi Militer Belanda II. Di mana pada waktu itu para pemimpin Indonesia, seperti Sukarno, Moh Hatta dan Sutan Syahrir, dan Agus Salim ditangkap dan diasingkan Belanda ke daerah luar jawa.
Sebelum ditanggkap, Sukarno dan Moh. Hatta menggelar rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran untuk membentuk pemerintahan sementara.
Mendengar ibu kota lumpuh dan sejumlah tokoh ditangkap, Safruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, panglima tentara dan teritorium Sumatera mengunjungi Teuku Mohammad Haasan, Gubernur Sumatera di kediamannya mengadakan perundingan.
Kemudian mereka langsung menuju Halaban, perkebunan teh yang berjarak 15 kilometer di selatan Kota Payakumbuh. Di sana mereka mengadakan rapat dengan sejumlah tokoh pada 22 Desember 1948. Kemudian mereka membentuk PDRI, sejak saat itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda dan tokoh-tokoh PDRI diburu Belanda. Mereka harus menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda.
Diketahui, peran PDRI sangat penting dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya mengisi kekosongan pemerintajan, PDRI berhasil menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Di mana informasi-informasi tentang keberadaan dan perjuangan Indonesia disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.
Sehingga negara-negara lain tahu mengenai keadaan Indonesia yang sesungguhnya. PDRI berakhir ketika perjanjian Roem-Royen yang disepakati oleh Belanda dan Indonesia disahkan pada 1 Juli 1949 tercapai.
Pada perjanjian tersebut semua tawanan politik yang diasingkan oleh Belanda dilepaskan tanpa syarat dan dikembalikan ke Yogyakarta. Maka pada tanggal 13 Juli 1949 Presiden RI Ir. Sukarno dan Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta.(Bdr)