BUKITTINGGI – Sejumlah pedagang dari berbagai sentra pasar yang ada di Kota Bukittinggi berdialog kepada tiga Fraksi yang ada di DPRD Bukittinggi yakni Fraksi Gerindra, PKS dan Fraksi Golkar, guna menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi selama ini.
“Pertemuan dengan masyarakat pedagang itu lahir dari hati terdalam pengurus tiga partai yang ada di DPRD. Pedagang dapat menyampaikan aspirasi, permasalahan dan harapan ke depan untuk kebaikan bersama,” kata Ketua DPC Partai Gerindra Bukittinggi H. Erman Safar, Senin (14/9/2020).
Pertemuan di kantor sekretariat DPC Gerindra Jln Bypass itu, dihadiri sejumlah pedagang dari Pasar Atas, Pasar Aua, Pasar Bawah, Pedagang Belakang Pasar, Pedagang K-5 Pasar Atas, Pedagang K-5 Pasar Lereng serta para pedagang K-5 khusus malam hari kawasan Pasar Atas.
Selain itu juga hadir pengurus partai sekaligus anggota DPRD dari Fraksi Gerindra yakni Ketua Fraksi, Benny Yusrial, anggota Sabirin Rachmad, Asril Bakar, M. Angga Alfarici dan Ketua DPRD Herman Syofyan juga dari Gerindra. Sedangkan dari Fraksi Golkar yaitu Jon Edwar selaku Ketua DPD Golkar Bukittinggi sekaligus sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPRD dan Syafril, anggota fraksi.
Pertemuan yang sekaligus berdialog langsung guna mendengar aspirasi masyarakat pedagang kota Bukittinggi dipandu oleh Yulius Rustam, yang mana diprakarsai partai yang tergabung dalam “Koalisi Bukittinggi Hebat”, yang mengusung pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota Bukittinggi: H. Erman Safar – H. Marfendi.
Dalam dialog tersebut, para pedagang meminta ke tiga fraksi agar menggunakan hak interpelasi atau hak bertanya terhadap semua kebijakan, dan aturan wali kota Bukittinggi yang telah merugikan pedagang dan perekonomian di kota Bukittinggi.
“Aspirasi kami sebagai pedagang agar DPRD menggunakan hak interpelasi. Hak itu sangat patut dilakukan soalnya, kebijakan dan aturan wali kota telah merugikan pedagang. Fraksi Gerindra, PKS dan Golkar memprakarsainya,” sebut Ketua Pedagang Pasar Aur, Dedi Dean.
Masalah pedagang serta semua persoalan yang dikemukakan terkait kebijakan dan peraturan yang dibuat pemko Bukittinggi, yang dinilai tidak berpihak pada mereka yang berprofesi sebagai pedagang. Boleh dibilang kebijakan wali kota yang tidak bijak itu, telah menimbulkan kerugian pedagang dan kenyamanan dalam berusaha di kota Bukittinggi.
Salah satu contoh nyata kebijakan yang tidak bijak yakni, padagang toko atau kios di semua sentra pasar sejak awal 2019 dikenakan tarif retribusi sangat tinggi, dimana telah dinaikkan sampai 600 persen. Ketetapan tarif retribusi dibuat memalui Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 sangat memberatkan para pedagang.
“Walikota menaikkan tarif retribusi tanpa melakukan musyawarah dengan para pedagang yang menjadi objek retribusi,” kata Didi Dean.
Menurut dia, pedagang toko pemegang hak Kartu Kuning di Pasar Aur, Pasar Bawah dan sentra pasar lainnya, telah dihilangkan hak-nya untuk bisa mengalihkan toko ke pihak lain, termasuk menjadikan Kartu Kuning sebagai borog saat meminjam dana atau modal ke bank.
“Para wali kota Bukittinggi sebelumnya, sebelum wali kota sekarang ini, sesuai perda yang ada, Kartu Kuning toko dapat dialihtangankan, dijadikan borog. Baru wali kota sekarang yang tidak membolehkan tanpa aturan yang tertulis. Pokoknya, tidak boleh, begitu saja. Ini sangat merugikan para pemegang Kartu Kuning,” celetuk Dedi.
Hilangnya hak atas Kartu Kuning juga dialami pedagang Pertokoan Pasar Atas Bukittinggi. Setelah musibah kebakaran 30 Oktober 2017 dan direhabilitasi kembali dengan dana APBN sebesar Rp292 miliar, wali kota tidak mengakui hak kartu kuning atas 763 petak toko.
Tahun 1974 silam, pedagang Pertokoan Pasar memperoleh toko dengan membeli dengan jumlah dana Rp5 juta per petak. Pemko Bukittinggi waktu itu memberikan tanda hak pedagang atas toko berupa Kartu Kuning. Kewajiban pedagang membayar retribusi toko secara bulanan.
“Walikota sekarang membuat aturan baru, sistem sewa. Pedagang diharuskan menyewa toko. Kartu kuning tidak berlaku lagi. Perpres yang ditertibkan Presiden pun dilangkahi. Bahkan ada pedagang lama yang tidak mendapatkan kembali toko karena aturan sepihak Walikota,” kata Young Happy, salah seorang pemegang kartu kuning toko yang diwarisi dari orangtuanya.
Masalah Pedagang K-5 yang sejak tahun 2017 tidak diberi peluang dan tempat berdagang oleh Pemko, sampai sekarang selalu diincar petugas Satpol PP. Ada 1000 lebih Pedagang K-5 di Bukittinggi. Setelah Pertokoan Atas diresmikan, Pemko menawarkan lokasi untuk pedagang K-5 di lantai paling atas pertokoan. Jumlah yang disediakan sekitar 200 lapak.
“Para pedagang kaki lima sepakat menolak. Masalahnya, hanya sebagian kecil yang bakal memperoleh lapak dengan cara diloting. Lokasinya pun di bagian atas sekali, sama saja membuat kalilima mati pelan-pelan,” kata Nofriandi, mewakili Pedagang K-5 kawasan Pasar Atas.
Puluhan pemilik toko di Belakang Pasar, yang kena musibah gempa tahun 2007, nasib mereka semakin terancam. Walikota sebelumnya tidak pernah mau memberi izin pembangunan pertokoan Belakang Pasar. Pimpinan kota sekarang semakin membuat cemas pemilik toko karena tanah Belakang Pasar dinyatakan secara sepihak sebagai tanah negara.
“Sama dengan para pedagang Pasar Atas dan Pasar Aur, pengaduan telah kami sampaikan ke berbagai pihak dan lembaga. Dari DPRD kota sampai pusat, dari KomnasHAM sampai ombudsman. Kami, para pemilik toko Belakang Pasar akan terus berjuang mempertahankan hak,” kata Husna Misbach mewakili Pedagang Belakang Pasar.
Ketua DPC Gerindra Kota Bukittinggi Erman Safar yang juga bakal calon waki kota di Pilkada Bukittinggi Desember tahun ini, menyatakan secara prinsip, tuntutan para pedagang diterima dan akan ditindaklanjuti fraksi-fraksi dari “Koalisi Bukittinggi Hebat”.
“Ketua DPRD yang dari Gerindra serta semua anggota fraksi, sudah mendengar dengan jelas aspirasi pedagang. Gerindra akan mengawal aspirasi ini,” sebut Erman Safar. (amr)
Comment