Keluh kesah petani di tengah pusaran pandemi Covid-19 dan intens-nya curah hujan mendera. Sehingga lebih banyak petani sekaligus buruh tani di kawasan Papiko bertahan di rumah dan kongkow kongkow di warung.
PADANG-Mengintip rutinitas buruh tani sekaligus status petani yang disandang di pundaknya. Kehidupan ekonomi mereka belakangan di suasana pandemi Covid 19 ini cukup memprihatinkan.
Namun, belakangan intensnya curah hujan di belahan kawasan Padang Pinggiran Kota (Papiko) Kota Padang Sumbar, menambah rumit finansial rumah tangga mereka. Maklum, petani di Papiko tidak didukung lahan yang memadai untuk menghidupi nafkah rumah tangga mereka.
Mereka, rata rata hanya memiliki luas lahan pertanian berupa sawah sekitar seperempat hektare. Bahkan, ada yang memiliki lahan sawah di bawah seperempat hektare tersebut. Maka tak heran, selain petani mereka berprofesi sebagai buruh, buruh banagunan.
“Di luar profesi sebagai petani, tak jarang petani melakoni pekerjaan serabutan, buruh bangunan, tukang ojek, tapi yang penting ada pemasukan,” ungkap Pulai (40) salah seorang petani sekaligus Tukang Ojek Betor di Kasik Lolo Gunung Sarik, Kuranji, Kamis (8/10/2020).
Dituturkan Pulai, belakangan lahan sawah sekitar beberapa petak (1/4 ha) pasca panen, namun hasil panennya tak menggembirakan. Karena, panennya terganggu hama wereng, sehingga hasilnya jauh dari harapan.
Walaupun, isteri pulai berjualan kecil kecilan di kontrakannya, karena di tengah pusaran pandemi Covid-19 juga tak bisa bicara banyak. “Kalaupun ada bantuan langsung tunai (BLT) itu takkan mencukupi dari bulan ke bulan,” imbuh pria yang memiliki satu putra ini.
Lain lagi, Amaik (70) yang masih tetanggaan dengan Pulai, memiliki cerita lain di tengah deeaan musim hujan ini. Pria yang intensif baladang tanaman mudo (plawija) pare, ladangnya rusak akibat curah hujan tinggi. “Saya tak bisa berbuat banyak, karena curah hujan tinggi, sehingga tanaman pare saya banyak ynag membusuk,” cerita Amaik.
Walaupun, Pak Amaik anak sudah berkeluarga namun ia tak mungkin mengandalkan belanja hariannya bersama istrinya kepada anak anaknya. Maka ia berusaha menggarap lahan sepatak tak jauh dari kediamannya, ditanam pare. Intinya, pada musim hujan petani taanmam mudo tak bisa berbuat banyak dengan hasilnya. Maka mau tak mau ia terpaksa memasak yang telah ditabung selama ini.
Lain, lagi crita Acik warga Sungai Lareh Lubuk Minturun Koto Tangah, ia bersama teman teman pargi malambuik atau panonkang (orderan memanen padi – red) terpaksa mangkal di warung, karena butiran air tak henti hentinya menetes dari langit. “Sementara urang rumah (isteri-red) telah membubgkuskan nasi dari rumah sejak pagi. Maka tak heran, akhirnya ngutang ke tetangga kiri kanan,” keluh Acik. (rjk)
Comment