PADANG–Soal perlombaan adat dan budaya, baik salingka nagari maupun adat nan sabatang panjang, secara spesifik memang tak ada larangan. Akan tetapi, kembali kepada tujuan dan maksudnya. Atau out put-nya dari sasaran yang akan dituju.
Tentu maksud tujuan yang akan dicapai, bagaimana pada masa mendatang adat dan istiadat ini tetap lestari dan eksis. Yakni, baik adat salingka nagari dan sabatang panjang bisa diwarisi ke generasi muda.
“Jadi, lomba itu bukan mencari nan santiang (badugo santiang) dan bertanding mencari yang kuat (badugo kuat),” ujar Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto pemerhati budaya dan adat Minangkabau, Jumat (27/1/2 3).
Pria yang akrab disapa Mak Katik ini menambahkan, apakah itu namanya lomba atau festival, akan tetapi yang urgen itu nawaitu atau tujuan yang mendasar. Perlu dimaknai, tujuan lomba dan festival tersebut bagaimana adat (salingka nagari dan sabatang panjang) bisa terus lestari. Kemudian, memotivasi generasi muda mau belajar adat.
Sebab, tak akan terbantahkan jika nilai nilai adat ini tidak jalan proses regenerasinya ke kaum generasi muda. Maka dikhawatirkan nilai nilai adat akan tergerus di salingka nagari. Jadi mari dipahami tujuan yang mendasar dari lomba atau festival tersebut. Dan jangan diperdebatkan dengan tajam, karena di lomba atau festival itu bukan mencari yang santiang dan dareh. Akan tetapi mencari yang elok dari yang elok.
Selain itu pria yang juga seorang budayawan, seniman dan pengajar Indonesia ini memang ada baiknya ke depan, dalam lomba tersebut jangan juara I, II dan III. Bisa saja dikatamhalus, dengan peringkat penyaji peringkat pertama, kedua dan ketiga.
Jadi tak ada salahnya, adat salingka nagari, seperti penyelenggaraan adat kematian di bawah payung yang ada di Nagari Pauh IX dan Nanggalo, sebagai adat salingka nagari di Kota Padang difestivakkan atau lomba. Sekali lagi, dikembalikan kepada tujuan dan maksud yang urgen dari lomba atau festival tersebut. “Bagaimana adat salingka nagari bisa lestari dan diwarisi oleh generasi muda, sehingga pada gilirannya, lapuk lapuk dikajangi, usang usang dipabaharui terealisasi,” ucap Mak Katik.
Memang kekhawatiran tergerusnya adat ini diakui Mak Katik, sudah mulai dibicarakan dengan kaum adat masa itu, agar jalan dialih urang lalu, cupak diganti urang panggaleh. Maka, strategi melestarikan adat itu harus cerdas, tidak tagang badantiang – dantiang jo kandua balewo – lewo. Ke depan, kaum adat harus bijak, ketika tagang, harus malewo, ketika malewo harus badantiang. “Apalagi, adat tidak babuhua mati, tapi babuhua sintak,” ucap Mak Katik. (drd)
Komentar