PADANG – Desa Krebet, Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Desa ini menjelma menjadi desa wisata yang menjadi ‘sekolah’ bagi sejumlah pelaku wisata.
Krebet, jika naik bus dari pusat Kota Yogyakarta, memakan waktu sekitar satu jam. Desa nan asri, sejuk namun tidak dikaruniai tanah nan subur. Tanah itu tidak pula tandus, tapi bisa tumbuh tanaman tahunan.
Melintas, menuju desa ini pengunjung bakal disuguhi tanaman kayu di kiri dan kanan jalan. Seolah membelah hutan perdu. Jalannya tak lebar, tapi bisa dilewati bus. Pohon-pohon itu adalah kayu Munggur dan Jati. Umurnya masih muda-muda, mungkin lima tahun lagi sudah bisa ditebang.
Desa ini juga menjadi tujuan bagi pelaku wisata dari Sumbar. Jauh-jauh dari Sumbar terbang ke Yogyakarta untuk belajar dan meniru. Ini disebut study tiru.
Belajar bisa hebat pula, seperti Krebet. Desa yang tidak memamerkan kemegahan modren. Tapi menjual suasana desa nan tenang. Menjual dinginnya tinggal di desa, dekat dengan pengrajin batik kayu.
“Desa ini memang tidak menjadi sumber tanaman pangan, makanya warganya harus lebih kreatif menambah pendapatan,”sebut Ikke Septi, pemandu wisata yang bertugas memandu tim studi tiru dari Sumbar.
Tim ini berasal dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang ada di Kota Padang. Ikut juga dalam rombongan pelaku ekonomi kreatif (Ekraf) dan valounter pariwata di Sumbar.
Kedatangan rombongan ini diprakarsai oleh Anggota DPRD Sumbar, Evi Yandri Rajo Budiman. Dia juga Wakil Ketua Komisi I DPRD Sumbar. Evi Yandri merasa gelisah dengan kondisi perekonomian warga Kota Padang yang baru saja dihantam badai corona. Sehingga harus dikuatkan dalam menambah pendapatan, termasuk dari sektor ekonomi kreatif.
Beranjak kembali ke Krebet. Desa ini memang pantas menjadi tempat belajar bagi pelaku wisata. Desa ini tidak memilik keindahan alam yang eksotik, tapi menawan untuk didatangi.
Desa yang sudah sepakat untuk ramah dengan orang datang. Desa yang mau berbagi dengan orang lain.
“Kami hanya mengelola, yang menjadi pelakunya adalah masyarakat di sini,”sebut Agus Jati Kumara Ketua Kelompok Desa Wisata, Krebet.
Warga Desa Krebet dengan keadaan geografisnya yang berupa perbukitan berkapur memenuhi kebutuhan hidup dari sektor pertanian. Sekitar tahun 1970-an sebagian kecil masyarakat dusun krebet mencari pekerjaan lain selain bertani, salah satunya adalah membuat kerajinan berbahan baku kayu seperti irus, siwur, beruk dan pisau, meski saat itu hanya untuk memenuhi kebutuhan warga Dusun Krebet.
Kerajianan kayu tersebut kemudian dipasarkan di desa-desa sekitar demi menambah penghasilan disela-sela bertani. Bentuk kerajinan kayu dan proses pembuatan yang sederhana membuat kerajinan kayu tersebut belum mempunyai daya jual tinggi dan membatasi proses penjualan.
Meskipun sederhana, kerajinan tersebut merupakan kerajinan pertama yang ada di Dusun Krebet. Kini hasil pengrajin itu sudah ada yang diekspor ke luar negeri. Pada 1995 pengrajin disini juga sudah menggelar pameran batik kayu di Inggris.
Jika ke Krebet, kita tidak akan menemukan jemuran warga bergantungan di depan rumah. Rumah-rumah warga terlihat bersih, tidak ada sampah yang berserakan. Jika ada sampah, kesadaran warga juga lebih tinggi membuang pada tempatnya.
“Ini kami sarankan pada warga dulunya, sempat ada penolakan. Tapi sekarang menerima semuanya,”ujarnya Agus.
Bagi yang ingin menikmati menginap di Desa Krebet, pengelola Desa Wisata akan mengarahkan pada rumah-rumah warga menjadi homestay (penginapan). Fasilitasnya adalah ruang kamar biasa, tempat tidur, kamar mandi dan fasilitas lainnya. Semuanya disediakan serba sederhana, namun higienis.
Untuk paket homestay warga mematok harga Rp150 ribu semalam. Ada tiga klaster dari harga ini, mulai dari paket satu hari, dua hari hingga tiga hari dengan harga berbeda.
Sementara untuk paket-paket lainnya, juga disediakan, seperti paket membatik. Pengunjung akan diberikan keterampilan membatik. Paket Kesenian Tradisioal peserta akan diajakan mempelajari kesenian, termasuk menikmati penampilannya.
Selain itu juga ada paket tandur, paket jelajah desa, paket kuliner dan paket dolanan tradisional. Masing-masing menyediakan keunikan tersendiri untuk dinikmati peserta.
Dengan, adanya desa wisata di Krebet, pendapatkan warga bertambah. Selain dari paket-paket harian, ketika ada peserta yang menginap maka pendapatan warga bertambah lagi.
“Kami tidak memaksa, atau mengarahkan warga untuk memilih ikut bersama. Tapi motivasi itu datang setelah melihat warga lainnya menerima pendapatkan tambahan,”tambah Agus.
Sejak adanya Desa Wisata, kesejahteraan warga Krebet cukup baik. Tak sedikit warga disana mampu menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan lebih tinggi.
Komitmen Bersama
Pada kunjungan ini, rombongan dari Sumbar juga dihadiri oleh Ketua DPRD Sumbar, Supardi. Saat mendampingi Pokdarwis dan pelaku ekraf dari Sumbar, Supardi menekankan untuk memajukan pariwisata itu membutuhkan komitmen bersama.
Disebutkannya, masing-masing daerah dipastikan memiliki kelebihan tersendiri. Juga memiliki kekurangan yang berbeda. Untuk itu, dengan adanya perbandingan study tiru, agar ada komitmen bersama dalam mengembangan sektor pariwisata di Sumbar.
“Kita yakin ada kelebihan ada kekurangan untuk itu diperlukan komitmen bersama. Dari kunjungan ini, ambilah kesimpulan, tarik kesimpulan. Kemudian kembangkan di Sumbar,”harapnya.
Sementara Evi Yandri Rajo Budiman menambahkan,
Menurutnya, ada tiga faktor besar yang membuat orang untuk berwisata pada suatu daerah. Pertama, keindahan alam, kedua budaya dan ketiga kuliner. Dari tidak faktor tersebut, semuanya dimiliki Sumatera Barat dan Kota Padang khususnya. Hanya saja belum terkelola dengan maksimal.
“Ini masih potensi. Ada banyak potensi wisata alam yang bisa dikembangkan di Kota Padang,”ungkapnya.
Dirincinya, objek wisata alam tersebut mulai dari Utara Kota Padang, ada Ungun Saok, di Lubuk Minturun Koto Tangah Kota Padang. Ungun Saok memiliki keindahan alam yang berasal dari aliran sungai dengan air yang bening dan alam yang asri.
Bergeser ke Selatan bisa sampai ke Lubuk Tampurung di Guo, Kecamatan Kuranji, selama ini objek ini sudah dikunjungi oleh wisatawan lokal. Itu hanya dari kalangan yang ada di Kota Padang. Namun, belum mendatangka wisatawan dari luar. Efeknya belum banyak bagi perekonomian masyarakat.
Selanjutnya ada Danau Gariang, di daerah Pauh, juga bisa menjadi objek wisata yang menari. Begitu juga Air Hilang, Goa Kelelawar, Ngalai Kambiang, Lubuk Udang dan Lubuk Hitam di daerah Bungus Teluk Kabung.
“Jika dibanding daerah lain,mereka punya alam dan budaya, tapi kuliner tidak. Tapi pariwisatanya maju, kenapa kita punya ketiganya, tapi tidak maju. Maka dibutuhkan pengelolaan, manajemen yang tepat dalam mengembangkan pariwisata ini,”ujarnya.*
Comment