PADANG – Setelah dibuka secara resmi oleh Gubernur Mahyeldi, Jumat (1/10) malam Pekan Kebudayaan Sumbar resmi kembali digelar di Taman Budaya Padang.
Pada pembukaan pengunjung langsung disuguhkan dengan pertunjukan utama kolaborasi teater, tari, musik, instalasi dan visual bertajuk Tikai Jaman.
Menghadirkan tarian khas Minang. Malam itu penuh warna. Taman Budaya Padang menghadirkan suasa penuh artistik.
Seniman, budayawan dan pengunjung tumpah memadati Taman Budaya. Dengan pertunjukan visual yang kontras bersama latar panggung yang eksentrik. Di panggung, yang dipenuhi seni instalasi meja dan kursi dari bahan kayu.
Kilau latar pentas yang bersumber dari cahaya proyektor, memperlihatkan gambar karikatur beragam etnis. Dengan pakaian khas yang ada di Sumatera Barat.
Mulai dari Arab, Melayu, Mentawai, Nias, India, Tionghoa dan Minangkabau.
Karikatur tersebut menandakan bahwa PKD dengan tajuk “Merawat Ingatan” tahun ini nantinya, akan diisi juga dengan pertunjukan multikultural berbagai etnis di Sumbar.
Usai hadirnya pertunjukan visual di layar latar panggung, selanjutnya diikuti dengan tari kreasi Minang, pada bagian bawah panggung di hadapan pengunjung.
Tari ini merupakan kreasi berkolaborasi dengan musik dan tradisional yang disuguhkan penari dengan pakaian adat Minang. Tari dikemas dengan rasa baru, namun tidak meninggalkan unsur tradisional.
Kurator acara itu, Muhammad Fadhli SSn, MSn, mengungkapkan, yang membedakan PKD tahun ini dengan Pekan Kebudayaan Sumbar sebelumnya, berada pada keterlibatan multi etnis pada sejumlah pertunjukan multikultural yang dihadirkan lima hari ke depan.
Keterlibatan multi etnis pada PKD tahun ini, ingin menyampaikan pesan, bahwa Sumbar merupakan provinsi yang sangat menerima perbedaan.
“Banyak titik di Sumbar bukan baru-baru ini saja, tapi sudah lama dihuni etnis lain di luar Minang. Kita ingin menunjukan kepada seluruh Indonesia, Sumbar sangat ramah untuk pergaulan multi etnis ini.
Perbedaan pada pilihan estetik dan karya etnis jadi pengaya bagi khazanah seni dan budaya di Sumbar,” ungkap Dosen Institut Senin Indonesia (ISI) Padang Panjang itu.
‘Tikai Jaman’
Tak lama setelah penampilan tari kreasi, hadir pertunjukan utama pada pembukaan malam tersebut, berupa pertunjukan kolaborasi teater, tari, musik, instalasi dan visual dalam satu panggung dengan judul Tikai Jaman.
Tikai Jaman disutradarai Ikhsan Haryanto. Menyampaikan pesan dan makna begitu mudah dicerna. Menghadirkan pertunjukan tari yang dipadu dengan dialog teater yang cukup apik.
Pertunjukan ini menyampaikan pesan kondisi sosial masyarakat hari ini. Perjalanan waktu dan zaman yang begitu cepat, memaksa mereka yang hidup hari ini, untuk beradaptasi dengan perkembangan tekhnologi yang begitu cepat.
Perubahan ini mempengaruhi apsek dalam kehidupan individu, sosial budaya dan pola pikir.
Pada pertunjukan Tikai Jaman ini memperlihatkan Gadis, seorang perempuan muda milienial dengan aktivitasnya yang lebih banyak dihabiskan di luar rumah bersama teman-temannya.
Dalam pertunjukannya, Gadis ingin membuktikan eksistensi generasi muda dalam berkarya dengan menampilkan tarian yang energik dengan gerakan yang lebih atraktif.
Gadis yang mewakili sekelompok perempuan muda itu menyampaikan pesan, generasi muda saat ini memiliki karakter yang kritis dan inovatif dalam memanfaatkan tekhnologi, untuk mengembangkan tradisi yang telah ada, tanpa harus meninggalkan esensi budaya itu sendiri.
Dalam pertunjukan teater malam itu, juga muncul seorang bapak yang berumur cukup tua yang menentang kehadiran dan pengembangan yang dilakukan oleh Gadis.
Mendapat pertentangan dari bapak tersebut justru tidak membuat nyali Gadis surut. Gadis bersama teman-temannya justru tetap berjuang dengan kreatifitasnya.
Pertunjukan Tikai Jaman malam itu memperlihatkan adanya konflik antara mereka yang muda dengan semangatnya menghasilkan kreasi dan inovasi dengan memanfaatkan teknologi, dengan mereka yang tua yang tahu segalanya.
Generasi tua yang merasa di masa mereka jauh lebih baik dibandingkan nilai-nilai yang ada sekarang.
Generasi tua yang menganggap perkembangan tekhnologi sekarang ini sumber penyakit yang merusak nilai-nilai kehidupan.
Gadis bersama teman-temannya datang ingin membuktikan kepada mereka yang menganggap kemajuan tekhnologi sesuatu yang negatif itu, salah. Tetapi justru menghadirkan nilai-nilai baru yang bermanfaat bagi kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan dari perjuangan yang dilakukan Gadis malam itu, sampai kapan pengorbanannya membuahkan hasil dengan kondisi saat ini? Di mana, Gadis ingin membuktikan dengan kemajuan tekhnologi saat ini kesenian bukan lagi sebuah pemainan tetapi juga sebagai pilihan hidup.
Perlu ada jaminan kehidupan pelaku seni dalam perjuangannya untuk mempertahankan kebudayaan.(Bdr)
Comment