Oleh: Dasman Boy Dt Rj Dihilie
(Wartawan Utama)
Manusia mati maninggaan bakeh, gajah mati maninggaan gadiang, Harimau mati maninggaan balang.
Pepatah usang ini mengisyaratkan, kepada manusia, baik manusia biasa maupun pemimpin harus meninggalkan karya, pasca tak memimpin lagi.
Sehingga, bakeh tersebut, bagian dari maambik contoh ka nan sudah, maambik tuah ka nan manang. Artinya, bakeh (karya – red) seseorang tadi menjadi contoh, bagi pemimpin yang akan datang. Bukan, sebaliknya merubah atau menukar nama karya pemimpin yang sebelumnya. Hal ini sama saja dengan “manembak di ateh kudo”, dengan memanfaatkan karya orang lain untuk sekadar ketenaran seremonial belaka.
Bahkan, alangkah eloknya kalau yang tengah memimpin saat ini untuk mewujudkan karya kita sendiri dan jangan mendompleng ketenaran dengan karya orang lain. Eloklah, membangun karya yang baru dengan memberi nama dengan nama yang sesuai versi kita sendiri.
Misalnya, Masjid Raya Sumbar yang dibangun era kepemimpinan Gamawan Fauzi Dt Rj Nan Sati 2005- 2009. Sebelumnya, era kepemimpinan Zainal Bakar, juga telah menorehkan bakeh Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Katapiang Padangpariaman dan Jembatan Layang Kelok Sembilan di Limapuluh Kota, namun Gamawan hanya melanjutkan pembangunan yang belum tuntas. Dan jadi catatan di sini, Gamawan tidak pernah merubah namanya. Semua itu tak terlepas dari menghargai bakeh pemimpin yang telah berkarya sebelumnya.
Selanjutnya, Gamawan membangun karyanya sendiri Masjid Raya di Padang Baru Kota Padang. Dan Gamawan membangun Masjid Raya tak hanya mengandalkan kemampuan keuangan daerah, akan tetapi menjuluk finansial dari luar. Arti, Gamawan ndak mahadokan badie-nyo ka dapua, tapi juga keluar.
Pasca kepemimpinan Gamawan berlanjut ke era Gubernur Irwan Prayitno Dt Rj Bandaro Basa, yang melanjutkan pembangunan Masjid Raya yang belum tuntas. Kemudian, IP (inisial panggilan akrab Irwan Prayitno) membangun bakeh sendiri, Main Stadion di Sikabu Lubuk Alung Padangpariaman.
Bahkan, stadion yang bertaraf internasional itu pernah dimanfaatkan untuk pagelaran MTQ. Namun, Ironi di era kepemimpinan Mahyeldi saat ini, kelanjutan pembangunan Stadion Utama Sumbar itu tak di-esek – esek sama sekali kelanjutannya. Kalau lah di-esek untuk menuntaskan pembangunannya, mungkin kesebelasan kebanggaan Urang Sumbar ini akan berkandang di sini. Lucunya, lagi Mahyeldi wara-wiri degan rencana mengubah nama Masjid Raya Sumbar, karya monometal Gubernur Gamawan Fauzi.
Padahal, bakeh orang yang terdahulu itu bagian dari “malabihi icak – icak mengurangi sio – sio” . Bisa mengubah bakeh orang itu icak – icak. Atau karajo, kojo tak kojo. Sedangkan, setiap orang diminta membuat karya sendiri, menghargai karya orang, tanpa manembak di ateh kudo atas karya orang lain tadi.
Maka di sini lah, dipakai raso, raso dibawo naik, pareso dibawo turun. Di mana raso tak bakandak manang, ndak bamandak santiang. Tapi lamak dek awak ka tuju dek urang. (**)
Comment