Budaya

MUI Sumbar Keluarkan Bayan, Zona Hijau Pemerintah Wajib Fasilitasi Salat Ied

321
×

MUI Sumbar Keluarkan Bayan, Zona Hijau Pemerintah Wajib Fasilitasi Salat Ied

Sebarkan artikel ini
Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar, Lc.,M.Ag.

PADANG – Bagi umat muslim yang akan menyelenggarakan salat Idul Fitri 1441 H dalam masa wabah covid-19, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar mengeluarkan penjelasan.

“Ini arahan MUI Sumatera Barat harap dibaca secara utuh dan kawallah emosional dengan keilmuan serta jagalah dengan adab,”sebut Ketua MUI Sumbar, Buya Gusrizal Gazahar memulainya.

Penjelasan atau Bayan yang dikeluarkan MUI Sumbar dengan Nomor: 001/MUI-SB/V/2020.

Bayan itu berisikan dengan rincian, pertama penyelenggaraan Idul Fitri 1441 H di Sumatra Barat tetap tidak keluar dari ketentuan-ketentuan Maklumat MUI Sumbar Nomor: 007/MUI-SB/IV/2020

Dimana harus ‘Udzur syar’i, untuk tidak melakukan ibadah sholat berjamaah baik di lapangan maupun di masjid, masih tetap ada karena mengingat perkembangan penularan Covid-19 di Sumatera Barat.

Bagi daerah-daerah yang tidak terdapat anggota masyarakat positif tertular Covid-19 atau telah menunjukkan terkendalinya penularan wabah Covid-19, maka sholat Idul Fitri bisa ditunaikan selama ada jaminan dan pengawasan dari pemerintah setempat yang memberikan fasilitas kepada umat untuk menunaikan ibadah sehingga tidak menghantarkan diri mereka ke dalam kebinasaan.

“Sebagaimana firman Allah swt:
… وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ…
“….dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…..”. (QS. Al-Baqarah 2:195)
c) Apabila tidak ada jaminan tersebut, maka MUI Sumbar tidak merekomendasikan penyelenggaraan sholat Idul Fitri 1441 H secara berjamaah di lapangan maupun di masjid,”jelasnya.

BACA JUGA  Lestarikan Ayam Endemik Sumbar, Dishub Sumbar Gelar Lomba Ayam Kukuk Balenggek

Kedua, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi kaum muslimin untuk menjalankan ibadah yang menjadi syi’ar agama Islam. Harus berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi umat dari penularan wabah Covid-19 pada daerah-daerah yang terkendali dengan bersama-sama menggerakkan masyarakat untuk melakukan karantina terhadap wilayah mereka. Kewajiban ini adalah amanah dari Allah swt dan Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Ketiga Kepada umat Islam di Sumatera Barat, bahwa dalam pelaksanaan ibadah berjamaah yang berpotensi untuk mengumpulkan orang banyak, termasuk untuk pelaksanaan sholat Idul fitri, agar memperhatikan syarat-syaratnya.

Syarat itu yakni, ada penetapan pejabat berwenang bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang tidak sedang mewabahnya Covid-19. Daerah tersebut telah ditutup akses pintu masuk/keluar-nya sehingga tidak memungkinkan bercampur orang yang sehat dengan orang yang sakit. Panitia yang menyelenggarakan ibadah dapat memastikan bahwa yang hadir menunaikan ibadah adalah jamaah setempat dan tidak bercampur dengan jamaah dari luar.

Untuk menghindari terlalu banyaknya jumlah jamaah yang terlibat dalam sholat Idul Fitri maka MUI Sumatera Barat meminta agar panitia pelaksana meyelenggarakannya di beberapa tempat.

BACA JUGA  Pos Rang Mudo (Parik Paga) Tapian Kuranji, BMPN Pauh IX Diresmikan

Tetap memperhatikan prosedur pencegahan penularan Covid-19, seperti, menyediakan tempat cuci tangan, menggunakan masker. Jamaah dianjurkan membawa sajadah masing-masing. Untuk mencegah kemungkinan penularan wabah maka merenggangkan shaff ketika sholat, dibolehkan dan tidak membatalkan sholat berjamaah.

Pelaksanaan Sholat dan Khutbah ditunaikan secara “iqtishad” (sederhana) dengan membaca ayat-ayat pendek serta meringkaskan khutbah.

Keempat, untuk pelaksanaan point pertama dan kedua, kepada MUI Kabupaten/ Kota se Sumatera Barat agar senantiasa berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.

Kelima, dalam pandangan jumhur ‘ulama, sholat Idul; Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah namun bagi kaum muslimin yang tidak bisa, atau memilih tidak mengikuti sholat Idul Fitri berjamaah dengan umat secara umum di lapangan atau di masjid karena ‘udzur atau luput darinya pelaksanaan sholat ‘Id tersebut, maka dibolehkan menunaikannya sendiri atau berjamaah dengan keluarga di rumah.

“Sebagaimana pandangan fuqaha’ Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, bersandarkan kepada hadits Rasulullah saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَامْشُوا إِلَيْهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا ” (رواه أحمد)
“Dari Abu Hurairah ra, susungguhnya Rasulullah saw bersabda; Jika shalat telah didirikan, maka janganlah kalian datang sambil berlari, namun datanglah dengan berjalan, hendaknya kalian tenang, apa yang kalian dapatkan (raka’atnya) maka shalatlah, dan (raka’at) yang ketinggalan, maka gantilah.” (HR. Ahmad)
Dan amalan sahabat Rasulullah saw (Anas Bin Malik ra) apabila luput darinya pelaksaanaan sholat ‘Id sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih :
أَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلَاهُمُ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ، فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ وَصَلَّى كَصَلَاةِ أَهْلِ الْمِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ. (رواه البخاري)
“Anas bin Malik memerintahkan mawla mereka yaitu Ibnu Abi ‘Utbah ) ketika berada di al-Zawiyyah (pelosok di dekat Bashrah) maka dia mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya, lalu kemudian Anas bin Malik shalat bersama mereka sebagaimana shalatnya penduduk kota dan seperti takbir mereka”.
Kaifiyyat pelaksanaan sholat Id di rumah adalah sama sebagaimana halnya pelaksanaan di lapangan atau di masjid, baik dari segi jumlah rakaat maupun jumlah takbirnya (7 kali takbir pada rakaat pertama selain takbiratul ihram dan 5 kali takbir pada rakaat kedua selain takbiratul qiyam), namun tidak disyaratkan khutbah sesudahnya.

BACA JUGA  Gubernur Mahyeldi Implementasi Ber-Akhlak Sama dengan Meneladani Rasulullah

“Demikianlah “bayan” ini kami sampaikan semoga menjadi perhatian.
Wallahu a’lam,”pungkasnya.(Bdr)
​​​​​

Comment