Politik

Mulai 8 Januari Petahana Masih Mutasi Pejabat, Ini Sanksinya

290
×

Mulai 8 Januari Petahana Masih Mutasi Pejabat, Ini Sanksinya

Sebarkan artikel ini
Ketua Bawaslu Sumbar

PADANG – Terhitung 8 Januari 2020, Pemerintah Daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) (Petahana) dilarang memutasi, promosi dan rotasi pejabat pemerintah. Jika ada penggantian pejabat, maka harus mendapatkan izin dari Mendagri dan Komisi Aparatur Sipil Negarai (KASN).

“Benar, kita sudah surati semua kepala daerah yang daerahnya mengikuti pilkada serentak pada 2020. Khusus untuk Pemprov Sumbar, kita sudah surati Gubernur terhitung 31 Desember 2019,”sebut Ketua Bawaslu Sumbar, Surya Efitrimen dihubungi, Rabu (8/1/2020).

Dikatakannya, himbauan itu juga sudah dikeluarkan oleh Bawaslu RI pada masing-masing daerah. Sehingga tidak terjadi keselahan dalam penggantian pejabat pemerintah jelang pilkada serentak 2020.

“Jika didapatkan ada kepala daerah petahana yang melakukan penggantian tanpa prosedur, maka pencalonannya dapat dibatalkan. Pembatalan itu dilakukan oleh Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU,”ujarnya.

Khusus untuk Pemprov Sumbar, meski Gubernur Irwan Prayitno tidak maju kembali mencalon sebagai Gubernur. Namun, tetap dihitung sebagai daerah petahana.

Dikatakannya, baik petahana (akan maju lagi sebagai Cakada) atau bukan petahana termasuk penjabat Gubernur atau penjabat Bupati dan Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Sekdaprov Sumbar, Alwis dihubungi mengakui Pemprov Sumbar telah mendapatkan surat dari Bawaslu RI. Tentang himbauan agar menghindari pelanggaran dalam tahapan pencalonan pemilihan tahun 2020.

BACA JUGA  NA-IC Bakal Jadikan Masjid Raya Sumbar Berasa Masjidil Haram dan Nabawi

“Kita sudah terima surat, kita patuh,”sebutnya.

Dikatakannya, terkait dengan kebutuhan Pemprov Sumbar melakukan mutasi, Pemprov Sumbar akan memenusi syaratnya izin tertulis dari Kementrian Dalam Negeri dan KASN. Apalagi satu pejabat Pembina Utama (Eselon II) sedang proses lelang terbuka, yakni jabatan Kepala Biro Umum, Setdaprov Sumbar.

“Nanti akan kita minta izin Mendagri, apalagi nanti jika pejabat banyak yang pensiun, maka kita akan penuhi syaratnya,”ulasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan KPU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, bahwa penetapan pasangan calon ditetapkan 8 Juli 2020.

Bila dihitung mundur 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon, maka sejak 8 Januari 2020, kepala daerah tidak diperbolehkan lagi melakukan pergantian pejabat, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Batas waktu penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah sudah diatur tegas pada pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan, Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

BACA JUGA  Terhitung 25 Agustus Sudah 6 Bulan Mahyeldi Menjabat Gubernur Sumbar, Mutasi Segera Bergulir

Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Larangan mutasi jelang pilkada tertuang dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada ayat (2), disebutkan bahwa larangan mutasi berlaku sejak enam bulan sebelum penetapan pasangan calon pilkada di KPU. Sesuai ayat (5) pada pasal tersebut, petahana yang melanggar ketentuan mutasi bakal dikenai sanksi pembatalan sebagai calon di pilkada. Jika mereka melakukan tanpa ada izin dari Kementerian Dalam Negeri, maka itu pelanggaran. Dan jika terbukti bisa berefek diskualifikasi. Jika tidak maju (di pilkada), dia bisa dipidana.

BACA JUGA  Faldo Maldini : “Main Presiden-Presidenan" Gaya Wagub Sumbar Audy

Petahana juga dilarang manfaatkan program pemda untuk pencalonan. UU 10/2016 juga mengatur larangan bagi kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan diri di pilkada.

Sedangkan bagi Gubernur, Bupati dan Walikota yang maju, maka sanksinya adalah pidana pemilihan.
Diketahui, sesuai pasal 188 yang dimaksud yakni, “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).”

Selain itu, pada Pasal 190 berbunyi “Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).(Bdr)

Comment